Januari, Dua ribu tiga belas...
1. Siang itu, matahari seakan ingin menunjukkan cahayanya. Suasana kelas yang berisik menambah kepanasan tersendiri. Hari ini sedang ada ujian akhir semester, dan aku duduk bersama anak kelas 12 di baris ke 4 meja nomor tiga. Sepertinya, masih teringat jelas kejadian saat itu.
Hari ini ujian terakhir, mata pelajaran yang diujikan pelajaran kejuruan, yaitu mengaplikasikan penyelenggaraan administrasi perkantoran. Aku mengerjakannya cukup mudah.
2. "ssst..sst put, putri sst no 12" berbisik teman sekelas kearah ku sambil menunjukan jarinya, seolah menunjukan kode nomor dua belas. Ia duduk sebaris dengan ku, hanya beda 2 meja saja. Ah, namanya anak SMA, hal seperti itu bukan hal yang aneh, jujur saja, kalian juga pasti pernah kan?
3. Tepat jam satu lewat lima belas menit. Aku sudah menjawab semua soal ujian, tinggal memeriksanya sekali lagi dan menunggu bel pulang. Tapi sebenarnya yang aku tunggu bukan itu, melainkan teman-teman ku. Apakah sudah selesai semua atau belum. Masuk sekolah bareng-bareng, naik kelas juga harus bareng-bareng, jangan pelit. Bukan aku meng-halal-kan mencontek, tidak sama sekali, tapi tidak semua teman mempunyai otak yang sama dengan kita kalo mereka butuh jawaban sekiranya 2 sampai 5 nomor apa salahnya kita kasih tahu, asal jangan semuanya aja keterlaluan namanya hehehe.
4. Krriiiingg... Bel sudah berbunyi. "Ya, semuanya dikumpulkan ya, tidak ada yang menulis lagi" ujar bu Yuliana, yang saat itu jadi pengawas diruang ujian ku. Aku dan semuanya pun keluar ruangan. Seperti biasa aku menunggu sahabat-sahabat ku keluar dulu dari ruangan.
Aku menunggu di depan kelas XI AP 2 yang letaknya tepat disebelah ruang guru lantai 2. Sekolah ku ini memang ukurannya kecil, tapi untuk prestasi dan kebersamaannya jangan ditanya...boleh diuji kalo yang satu ini mah. Aku duduk dibangku besi panjang warna hijau, memandang ke arah depan, angin berhembus menyibak rambut panjang ku yang sengaja aku urai.
5. Aku selalu pulang tepat waktu, tidak seperti anak-anak sma biasanya, yang pulang sekolah nongkrong dulu, asik berbagi cerita, tertawa lepas, aku tidak seperti itu. Bukan tidak bisa, sebenarnya bisa saja aku seperti teman ku yang lain, tapi lebih tepatnya aku tidak mau. Aku harus menjaga ibu dan adik ku yang masih SD.
Ibu ku sudah lama sakit, sakitnya sudah bertahun-tahun sejak aku SD. Terjadi sesuatu di otak ibu, pasokan darah ke otak terputus akibat adanya penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan ibu stroke permanen sebelah kiri, hingga saat ini. Tapi ibu tidak pernah mengeluh sakit. Ibu selalu bergantung dengan ku, jika tidak ada aku mungkin ibu tidak akan makan sampai aku ada dirumah.
6. Adik ku namanya Rama, masih kecil, aku belum percaya jika ku serahkan tanggung jawab ku untuk mengurus ibu kepadanya. Ayah ku, ayah ku sibuk bekerja, saat ini ayah sudah menikah lagi, tentu dengan restu ibu. Tapi bisakah kalian bayangkan bagaimana sakitnya seorang perempuan bila suaminya menikah lagi?. Ibuku, kurasa dia rapuh, namun dia sadar bahwa tidak bisa melayani suami yang dia cintai sepenuhnya, makanya ia terima dipoligami. Ibu ku seorang yang sangat hebat, meski Tuhan memberikan ia penyakit bertahun-tahun, ia tidak menghakimi dan menjauhiNya. Ia tetap menjalankan kewajiban seorang hamba kepada Penciptanya.
7. Kondisi ibu sekarang semakin serius. Ia sudah tidak bisa bicara, hanya matanya saja yang memberikan isyarat. Aku masih dalam posisi ku, duduk dibangku besi panjang warna hijau, masih menunggu sahabat ku. "put yuk, balik gue udah rapi nih." ajak Lia kepada ku
"yuk, eh ya (lia), nada, ifa, ami, arum mana?."
"Put, Lia..tunggu"
"nah itu mereka."
8. Aku pun bersama 5 sahabat ku jalan kearah tangga, untuk pulang. Baru sampai ruang guru, handphone ku berdering
"tunggu..tunggu hape gue bunyi," kata ku kepada mereka semua, ternyata Ayah ku yang menelpon.
"Assalamu'alaikum yah, kenapa yah?"
"Put, putri masih disekolah? putri yang sabar ya, sekarang putri cepat pulang kerumah."
"Ada apa yah, kenapa?" jawab ku dengan panik, ada apa ini, apa ada hubungannya dengan ibu? semoga ibu tidak kenapa-kenapa.
"Ibu put, ibu udah gak ada, sekarang kita ke parung ya, buat kubur jenazah ibu, semoga keburu buat temuin ibu yang terakhir."
"Ibu....., ya allah ibu, innalillahi ibuuuu..ibuuuu." aku hanya bisa menangis.
Rasanya hati ku remuk mendengar kabar ini, kenapa harus di sekolah, kenapa ibu menghembuskan nafas terakhirnya tidak di pangkuan ku?. kenapa secepat ini...Ibuuuuu. Aku masih tidak percaya. Ya Allah, aku gak kuat tanpa ibu.
9. Melihat ku menangis, teman-temanku langsung memeluk ku dan mengusap air mata ku yang terus-terusan mengalir dari tadi. Ditempat ku berdiri jadi ramai, sampai bu yuliana datang dan menanyakan.
"ada apa ini, putri kamu kenapa nangis." kata bu yuliana, aku tidak menjawab, aku hanya bisa menangis.
"Ibunya putri meninggal bu, baru aja tadi." jawab ami,
"innalillahi, putri ibu turut berduka cita ya nak." bu yuliana langsung memeluk ku dan mengusap kepala ku, aku menangis sejadi-jadinya dipeluk bu yuliana, rasanya aku ingin cepat-cepat memeluk ibu untuk yang terakhir.
"yasudah ami, tolong carikan teman yang bawa motor ya, antarkan putri pulang sampai rumah, ibu menyusul"
"iya bu."
10. Saat ini aku sudah dirumah, aku semakin tak kuasa menahan tangis ketika melihat ayah ku. Aku berlari memeluk ayah, dan adik ku rama. Terlihat ayah sedang sibuk untuk mengabarkan keluarganya dan menyiapkan mobil untuk kami pergi ke parung, tempat dimana ibu akan disemayamkan. Dunia ku seakan runtuh, aku tidak percaya ibu pergi secepat ini. Tidak ada satu jam setelah aku sampai dirumah, aku langsung berangkat menuju parung.
Sahabat memang selalu rela meluangkan waktunya untuk sahabatnya. Lia yang kemudian ikut dengan ku ke parung. Aku mengerti, memang hanya lia yang mempunyai waktu banyak.Aku sudah sampai di parung pukul setengah lima sore, aku turun dari mobil dan berharap bisa bertemu ibu, mencium keningnya, memeluknya. Dan aku ingin minta maaf ke ibu, karna bukan aku yang ada disisinya saat malaikat maut mencabut ruhnya.
Kenyataan memang tidak selalu sesuai dengan harapan. Kata tanteku, Ibu sudah dikubur setengah jam sebelum kami sampai, tepatnya selepas ashar. Lia terus berada didekat ku, dia tidak jauh-jauh, matanya seolah merasa bersalah jika dikeadaan yang rapuh dia tidak ada disisiku
Untuk perempuan yang hatinya sekuat karang,
tangannya yang selalu menghadirkan pelukan-pelukan hangat,
wajahnya yang selalu mengalahkan lelah,
ingat lah, tidak akan ku lupa menyebut nama mu disujud terakhir ku.
Kini nama ibu sudah terbingkai di batu nisan. Aku sudah ikhlas, "bu, aku pulang dulu, aku bakal jaga rama dan ayah, ibu baik-baik disini. Aku pasti akan sering menjenguk ibu, kalau kedinginan, mampirlah kerumah, selimut mu selalu aku pakai." ujar ku kepada nisan yang bertuliskan nama ibu.
aku akan berjalan, berjuang tanpa dan untukmu, ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar